Rabu, 17 Desember 2014

Filsafat Zaman Kontemporer



Filsafat Zaman Kontemporer
Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman kontemporer berkembang dengan sangat cepat. Masing-masing ilmu mengembangkan disiplin keilmuannya dan berbagai macam penemuan-penemuannya. Penemuan dan penciptaan terjadi silih berganti dan makin sering. Informasi ilmiah diproduksi dengan cepat, meliputi dua setiap tahun, bahkan disiplin-disiplin tertentu seperti genetika setiap dua tahun (Jacob, 1993:19).
Dalam bidang kedokteran, Mahzhab Hippokrates melihat kedokteran secara historis , tetapi sekitar lima abad yang lalu terjadi perubahan besar dengan gagasan manusia harus menguasai alam; materi dan jiwa harus dipisahkan. Dalam dasawarsa-dasawarsa akhir datang pula arus kontra dengan gerakan ke holism lagi, karena pengaruh negative teknologi dan pengaruh positif ekologi (Jacob, 2993: 20-21).
Dalam disiplin ilmu social, berbagai macam pendekatan dihasilkan guna semakin menajamkan daya analisa terhadap fenomena yang ditelitinya. Sementara itu dalam ilmu pengetahuan alam, terutama fisika sianggap memiliki perkembangan yang sangat spektakuler. Salah satu fisikawan yang termasyur pada masa itu adalah Albert Einstein.
Dalam 20 tahun terakhir ini, percepatan pertumbuhan teknologi itu sedemikian rupa, sehingga kalau diukur dari jangka waktu yang pendek tersebut , pertumbuhan itu laksana sebuah ledakan. Di masa depan teknologi akan jauh lebih pesat lagi perkembangannya. Orang membayangkan masa depan yang penuh shock, yan gpenuh katidakpastian dan kecemasan, karena lingkungan yang terlalu cepat berubah. Perkembangan teknologi akan menambah kuatitas produk, tetapi menurunkan kualitas. Teknologi sengaja dibuat segera usang atau tidak tahan lama. Inilah yang disebut technostress.
Dalam media komunikasi, penemuan mesin cetak merupakan peristiwa yang sangat penting, yang dimanfaatkan dengan baik pertama kali di Eropa. Media elektronik kemudian merevolisi informasi dengan telavisa, Koran jarak jauh, dll. Sekarang microelektronik dan multi media memebawa kita ke masyarakat informasi yang sanggup menyajikan gambar, suara dan cetakan sekaligus dan dapat bersifat individual dan personal.
Perkembangan teknologi juga ditrandai dengan makin meluasnya penggunaan teknologi modern itu dalam kehidupan sehari-hari, dan makin lama makin mencapai skala masal. Disisi lain pada zaman Kontemporer perkembangan ilmu juga ditandai dengan terjadinya spesialisasi-spesialisasi yang semakin tajam. Akibatnya, bidang pengkajian suatu bidang keilmuan makin sempit yang ditambah dengan berbagai pembatasan dalam pengkajiannya seperti asumsi dan prinsip sehingga membuat lingkup penglihatan keilmuan bertambah sempit pula. Hal inilah yang menimbulkan gejala deformation professionelle.
Di samping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lainnya dalam perkembangan ilmu pada zaman kontemporer ini adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan bidang ilmu yang lainnya. Perkembangan ilmu yang semakin cepat pada masa sekarang dimungkinkan karena adanya metode ilmiah dan komunikasi ilmiah antar ilmuan. Komunikasi ilmiah antar ilmuan juga sangat mendukung bagi percepatan perkembangna ilmu pengetahuan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang ilmuan disuatu wilayah akan dapat dengan mudah diketahui oleh ilmuan lain di wilayah lain. Namun pada masa sekarang komunikasi antar ilmuan menjadi sangat mudah karena munculnya pendukung lain seperti internet. Inilah yang menjad kunci percepatan perkembangan ilmu sekarang ini.
1.      Aliran Pemikiran Filsafat Kontemporer  Barat.
            Pada era “modern”—dilewati bangsa Barat pasca Immanuel Kant, dua setengah abad yang lalu—bangsa Barat hidup dengan konsep sistem nilai baru, struktur sosial-budaya pun sama, dengan sebelumnya pra-syarat Rasional, juga dengan ciri-cirinya yang orisinil. Sejauh yang terkait pemikiran filsafat barat kontemporer secara periodik, ada beberapa aliran pemikiran yang dominan yang semarak.
            Pertama,tipologi strukturalisme. Tipologi ini memusatkan perhatiannya pada masyarakat sebagai sistem, di mana fenomena-fenommena tertentu menggambarkan “suatu kenyataan sosial yang menyeluruh.”, atau pada landasan epistemologi (canguilhen) akan menggeser inti bahasan dari pemikiran esensialis tentang masyarakat dan pengetahuan kepada wacana yang melihatnya sebagai ciri-ciri struktural fenomena ini, baik ciri differensial atau pun relasional.
            Tipologi ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi. Dia adalah tokoh kunci dari generasi strukturalis dan post-srukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental.
            Selanjutnya, bapak psikoanalis, Sigmund Freud (1856-1939 M.) merupakan sosok yang amat kontroversial dengan hipotesanya yang amat mengerikan. Khususnya bagi kaum teolog- yang melihat frued hanya sebagai ateis, materialis.
            Selain para pemikir di atas, masih dapat kita jumpai para pemikir semisal al-Thuser (1918-1990 M.), Pierre Bourdieu (1930-1982 M.), Jacques Lacan (1901 M.)
            Tipologi kedua, Post-Strukturalisme. Pada fase ini, pemikiran diwarnai dengan varietas pemahaman dalam berbagai segi, sekaligus meninjau tulisan sebagai sumber subjektivitas dan kultur yang bersifat paradoks, yang sebelumnya merupakan hal yang bersifat sekunder. Ketidakpuasan akan pra-anggapan tertentu tentang subjektifitas dan bahasa (misalnya, pengutamaan wicara dibanding dengan tulisan) menuntut akan munculnya pemikiran ini.
            Tipologi ini diwakili oleh Nietzche (1844-1900 M.), prinsip yang diusulkan sebagai suatu kebenaran koheren dan mendasar, beraneka ragam fakta serta penampilannya adalah bersifat idealis.
            Selanjutnya adalah Michel Foucault (1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog dan sexolog yang paling cemerlang pada masanya.
            Tipologi ketiga, post-marxisme. Tipologi ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari marxisme dengan karakter dan corak pemikiran yang sangat berbeda.
            Mereka menggunakan Marx untuk untuk mengembangkan sebuah strategi kritik yang sebenarnya di tujukan kepada ‘kapitalisme modern’.
            Para filsuf yang mempunyai kecenderungan berfikir post-Marxisme adalah para pemikir seperti Hannah Arendt, Jurgen Habermas dan Theodor Adorno.

2.      Aliran Pemikiran Filsafat Kontemporer  Islam.
            Filsafat di dunia Islam merupakan benih pembaharuan, meski hasil asimilasi dari budaya asing. Namun sangat disayangkan tak pernah bernafas panjang. Di dunia Islam timur, filsafat lenyap atas jasa Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali, dengan kitabnya Tahafut al-falasifah. Sedang di dunia Islam barat, matinya filsafat setelah wafatnya Ibnu Rusyd (1198 M.) berakhir pula pengaruh filssafat paripatetik. Setelah ini, filsafat secara geografis berpindah ke Negri para Mullah, Iran, sebagai akibat dari pengaruh metafisika Yunani dan Hindu. Maka kita bisa mengenal Ibn Arabim, al-Hallaj, dan Suhrawardi al-Maqtul sebagai pendekar filsafat gnostik Persia ternama. Kemudian Islam mengalami masa skolastik (kegelapan) yang berlangsung kurang lebih dua abad.
            Islam terbangun dengan infasi Napoleon Bonaparte di Mesir tahun 1798 M, dengan disusul berdirinya negri-negri independen yang mengatasnamakan Nasionalisme. Sementara dinasti Ottoman sebagai representasi kekuatan Islam kala itu, telah dilumpuhkan dan digerogoti luar-dalam. Datangnya Napoleon merupakan titik tolak pembaharuan pemikiran Arab-Islam.
            Kemudian muncullah para pemikir rekonstruktif lain semisal Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Mereka sepakat guna memerangi keterbelakangan dan kolonialisme yang didasari dengan penafsiran-penafsiran rasionalis terhadap ayat-ayat Tuhan.
            Gerak radikal pemikiran barat yang menyematkan Immanuel kant sebagai puncak modernisasi filsafat menorehkan berbagai macam pertimbangan humanis-rasionalis yang semena-mena tidak boleh dialienasikan, apalagi dinilai sebagai wujud kolonialisme modern atas dunia Islam. Feminisme, rasionalisme dan modernisme adalah fakta perjuangan cendekiawan muslim yang berupaya mengeluarkan khazanah pemikiran Islam dari stagnansi masa skolastik dimana agama, lapukan sejarah dan literatur keilmuan telah menjadi Tuhan.
            Ideologi yang digambarkan oleh al-Jabiri atas dunia Arab-Islam masih saja dipahami secara literal dan melahirkan sikap antipati terhadap perkembangan pemikiran Barat. Angan mitologis atau mistisisme yang telah menghantui modernisme Islam sudah selayaknya dihancurlantakkan lalu menaruh sikap inklusif sebagai jembatan pembaharuan.

Pilar  Pilar Filsafat Kontemporer
            Filsafat  telah melahirkan apresiasi dan respon yang besar dalam sejarah pemikiran dan memunculkan pilar – pilar Filsafat Kontemporer.
            Pilar yang pertama adalah etika, di mana merupakan hasil dari refleksi moralitas yang kemudian melahirkan aliran-aliran filsafat yang dikembangkan oleh para filosof. Dalam memahami etika sebagai suatu ajaran tentang seni hidup, atau menempatkan sebagai kebahagiaan ke pusat etika (Aristoteles), dan kemudian pemikiran ini direligiuskan oleh Thomas Aquinas. Dan Imanuel Kant menjadikan etika yang semula seni kehidupan menjadi etika kewajiban, dan ini melahirkan konsep sentral etika modern, yaitu konsep otonomi moral. Pemikiran ini lebih lanjut, kemudian dikembangkan oleh George Wilhelm Friedrich Hegel dan dipadukan dengan teori dialektikanya.
            Pilar yang kedua adalah fenomenologi, dengan tokoh sentralnya Edmund Hussel (1859-1938) fenomenologi merupakan salah satu dari arus pemikiran yang paling berpengaruh pada Abad ke-20. Secara umum fenomenologi lahir dari persoalan fenomena yang dibawa ke ruang publik --pertama kali-- oleh Hegel dengan ruh absolutnya. Husserl lalu mendefinisikan fenomenologi sebagai ilmu tentang penampakan (fenomena), dan bagi Husserl berbicara tentang esensi di luar eksistensi adalah kerja sia-sia, dan hal inilah yang membedakan fenomenologi Husserl dengan fenomenologinya Hegel dan Kant.  Para filosof yang terpengaruh oleh fenomenologi adalah Derrida, Kierkegard, Cascirer.
            Pilar yang ketiga adalah eksisitensialisme. Eksistensialisme tidak lagi membahas pertanyaan-pertanyaan esensi dan kodrat, akan tetapi lebih menekankan masalah seputar eksistensi. Seorang filosof eksistensialis, semisal Sartre, bekerja keras dalam permasalahan esensi dan eksistensi, yang kemudian memunculkan sebuah tesis bahwa "eksistensi mendahului esensi". Dan ini membalik tradisi pemikiran filsafat Barat sejak Plato, yang selalu mengatakan bahwa esensi mendahului eksistensi.
            Pilar yang ke empat adalah filsafat budaya. Jika dilihat dari sudut pandang filosofis akan melahirkan dimensi subyektif dan obyektif. Di mana dimensi subyektif adalah daya yang menjadikan produk (alam) menjadi produk yang lebih baik, sedangkan dimensi obyektif adalah hasil dari kegiatan daya tadi.

DAFTAR PUSTAKA

Noor, Hadian. 1997. Pengantar Sejarah Filsafat. Malang: Citra Mentari Group.
Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
Rachman, Maman, dkk. 2008. Filsafat Ilmu. Semarang: UPT UNNES Press.
Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salam, Burhanuddin. 2003. Pengantar Filsafat. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Donny Gahral Adian,  Pilar-pilar Filsafat Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, Cetakan : Pertama, 2002.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar