Filsafat Zaman
Kontemporer
Perkembangan
ilmu pengetahuan pada zaman kontemporer berkembang dengan sangat cepat.
Masing-masing ilmu mengembangkan disiplin keilmuannya dan berbagai macam
penemuan-penemuannya. Penemuan dan penciptaan terjadi silih berganti dan makin
sering. Informasi ilmiah diproduksi dengan cepat, meliputi dua setiap tahun,
bahkan disiplin-disiplin tertentu seperti genetika setiap dua tahun (Jacob,
1993:19).
Dalam bidang
kedokteran, Mahzhab Hippokrates melihat kedokteran secara historis , tetapi
sekitar lima abad yang lalu terjadi perubahan besar dengan gagasan manusia
harus menguasai alam; materi dan jiwa harus dipisahkan. Dalam
dasawarsa-dasawarsa akhir datang pula arus kontra dengan gerakan ke holism
lagi, karena pengaruh negative teknologi dan pengaruh positif ekologi (Jacob,
2993: 20-21).
Dalam
disiplin ilmu social, berbagai macam pendekatan dihasilkan guna semakin
menajamkan daya analisa terhadap fenomena yang ditelitinya. Sementara itu dalam
ilmu pengetahuan alam, terutama fisika sianggap memiliki perkembangan yang
sangat spektakuler. Salah satu fisikawan yang termasyur pada masa itu adalah
Albert Einstein.
Dalam 20
tahun terakhir ini, percepatan pertumbuhan teknologi itu sedemikian rupa,
sehingga kalau diukur dari jangka waktu yang pendek tersebut , pertumbuhan itu
laksana sebuah ledakan. Di masa depan teknologi akan jauh lebih pesat lagi
perkembangannya. Orang membayangkan masa depan yang penuh shock, yan gpenuh
katidakpastian dan kecemasan, karena lingkungan yang terlalu cepat berubah. Perkembangan
teknologi akan menambah kuatitas produk, tetapi menurunkan kualitas. Teknologi
sengaja dibuat segera usang atau tidak tahan lama. Inilah yang disebut
technostress.
Dalam media
komunikasi, penemuan mesin cetak merupakan peristiwa yang sangat penting, yang
dimanfaatkan dengan baik pertama kali di Eropa. Media elektronik kemudian
merevolisi informasi dengan telavisa, Koran jarak jauh, dll. Sekarang
microelektronik dan multi media memebawa kita ke masyarakat informasi yang
sanggup menyajikan gambar, suara dan cetakan sekaligus dan dapat bersifat
individual dan personal.
Perkembangan
teknologi juga ditrandai dengan makin meluasnya penggunaan teknologi modern itu
dalam kehidupan sehari-hari, dan makin lama makin mencapai skala masal. Disisi
lain pada zaman Kontemporer perkembangan ilmu juga ditandai dengan terjadinya
spesialisasi-spesialisasi yang semakin tajam. Akibatnya, bidang pengkajian
suatu bidang keilmuan makin sempit yang ditambah dengan berbagai pembatasan
dalam pengkajiannya seperti asumsi dan prinsip sehingga membuat lingkup
penglihatan keilmuan bertambah sempit pula. Hal inilah yang menimbulkan gejala deformation
professionelle.
Di samping
kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lainnya dalam perkembangan
ilmu pada zaman kontemporer ini adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan
bidang ilmu yang lainnya. Perkembangan ilmu yang semakin cepat pada masa
sekarang dimungkinkan karena adanya metode ilmiah dan komunikasi ilmiah antar
ilmuan. Komunikasi ilmiah antar ilmuan juga sangat mendukung bagi percepatan
perkembangna ilmu pengetahuan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang
ilmuan disuatu wilayah akan dapat dengan mudah diketahui oleh ilmuan lain di
wilayah lain. Namun pada masa sekarang komunikasi antar ilmuan menjadi sangat mudah
karena munculnya pendukung lain seperti internet. Inilah yang menjad kunci
percepatan perkembangan ilmu sekarang ini.
1. Aliran
Pemikiran Filsafat Kontemporer Barat.
Pada era “modern”—dilewati bangsa
Barat pasca Immanuel Kant, dua setengah abad yang lalu—bangsa Barat hidup
dengan konsep sistem nilai baru, struktur sosial-budaya pun sama, dengan
sebelumnya pra-syarat Rasional, juga dengan ciri-cirinya yang orisinil. Sejauh
yang terkait pemikiran filsafat barat kontemporer secara periodik, ada beberapa
aliran pemikiran yang dominan yang semarak.
Pertama,tipologi strukturalisme.
Tipologi ini memusatkan perhatiannya pada masyarakat sebagai sistem, di mana
fenomena-fenommena tertentu menggambarkan “suatu kenyataan sosial yang
menyeluruh.”, atau pada landasan epistemologi (canguilhen) akan
menggeser inti bahasan dari pemikiran esensialis tentang masyarakat dan
pengetahuan kepada wacana yang melihatnya sebagai ciri-ciri struktural fenomena
ini, baik ciri differensial atau pun relasional.
Tipologi ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi. Dia adalah tokoh kunci dari generasi strukturalis dan post-srukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental.
Tipologi ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi. Dia adalah tokoh kunci dari generasi strukturalis dan post-srukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental.
Selanjutnya, bapak psikoanalis,
Sigmund Freud (1856-1939 M.) merupakan sosok yang amat kontroversial dengan
hipotesanya yang amat mengerikan. Khususnya bagi kaum teolog- yang melihat
frued hanya sebagai ateis, materialis.
Selain para pemikir di atas, masih
dapat kita jumpai para pemikir semisal al-Thuser (1918-1990 M.), Pierre
Bourdieu (1930-1982 M.), Jacques Lacan (1901 M.)
Tipologi kedua, Post-Strukturalisme.
Pada fase ini, pemikiran diwarnai dengan varietas pemahaman dalam berbagai
segi, sekaligus meninjau tulisan sebagai sumber subjektivitas dan kultur yang
bersifat paradoks, yang sebelumnya merupakan hal yang bersifat sekunder.
Ketidakpuasan akan pra-anggapan tertentu tentang subjektifitas dan bahasa
(misalnya, pengutamaan wicara dibanding dengan tulisan) menuntut akan munculnya
pemikiran ini.
Tipologi ini diwakili oleh Nietzche
(1844-1900 M.), prinsip yang diusulkan sebagai suatu kebenaran koheren dan
mendasar, beraneka ragam fakta serta penampilannya adalah bersifat idealis.
Selanjutnya adalah Michel Foucault
(1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog dan sexolog yang paling cemerlang
pada masanya.
Tipologi ketiga, post-marxisme.
Tipologi ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari marxisme dengan
karakter dan corak pemikiran yang sangat berbeda.
Mereka menggunakan Marx untuk untuk
mengembangkan sebuah strategi kritik yang sebenarnya di tujukan kepada
‘kapitalisme modern’.
Para filsuf yang mempunyai
kecenderungan berfikir post-Marxisme adalah para pemikir seperti Hannah Arendt,
Jurgen Habermas dan Theodor Adorno.
2. Aliran Pemikiran Filsafat
Kontemporer Islam.
Filsafat di dunia Islam merupakan
benih pembaharuan, meski hasil asimilasi dari budaya asing. Namun sangat
disayangkan tak pernah bernafas panjang. Di dunia Islam timur, filsafat lenyap
atas jasa Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali, dengan kitabnya Tahafut
al-falasifah. Sedang di dunia Islam barat, matinya filsafat setelah wafatnya
Ibnu Rusyd (1198 M.) berakhir pula pengaruh filssafat paripatetik. Setelah ini,
filsafat secara geografis berpindah ke Negri para Mullah, Iran, sebagai akibat
dari pengaruh metafisika Yunani dan Hindu. Maka kita bisa mengenal Ibn Arabim,
al-Hallaj, dan Suhrawardi al-Maqtul sebagai pendekar filsafat gnostik Persia
ternama. Kemudian Islam mengalami masa skolastik (kegelapan) yang berlangsung
kurang lebih dua abad.
Islam terbangun dengan infasi
Napoleon Bonaparte di Mesir tahun 1798 M, dengan disusul berdirinya negri-negri
independen yang mengatasnamakan Nasionalisme. Sementara dinasti Ottoman sebagai
representasi kekuatan Islam kala itu, telah dilumpuhkan dan digerogoti
luar-dalam. Datangnya Napoleon merupakan titik tolak pembaharuan pemikiran
Arab-Islam.
Kemudian muncullah para pemikir rekonstruktif lain semisal Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Mereka sepakat guna memerangi keterbelakangan dan kolonialisme yang didasari dengan penafsiran-penafsiran rasionalis terhadap ayat-ayat Tuhan.
Kemudian muncullah para pemikir rekonstruktif lain semisal Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Mereka sepakat guna memerangi keterbelakangan dan kolonialisme yang didasari dengan penafsiran-penafsiran rasionalis terhadap ayat-ayat Tuhan.
Gerak radikal pemikiran barat yang
menyematkan Immanuel kant sebagai puncak modernisasi filsafat menorehkan
berbagai macam pertimbangan humanis-rasionalis yang semena-mena tidak boleh
dialienasikan, apalagi dinilai sebagai wujud kolonialisme modern atas dunia
Islam. Feminisme, rasionalisme dan modernisme adalah fakta perjuangan
cendekiawan muslim yang berupaya mengeluarkan khazanah pemikiran Islam dari
stagnansi masa skolastik dimana agama, lapukan sejarah dan literatur keilmuan
telah menjadi Tuhan.
Ideologi yang digambarkan oleh
al-Jabiri atas dunia Arab-Islam masih saja dipahami secara literal dan melahirkan
sikap antipati terhadap perkembangan pemikiran Barat. Angan mitologis atau
mistisisme yang telah menghantui modernisme Islam sudah selayaknya
dihancurlantakkan lalu menaruh sikap inklusif sebagai jembatan pembaharuan.
Pilar Pilar Filsafat Kontemporer
Filsafat telah melahirkan apresiasi dan respon yang
besar dalam sejarah pemikiran dan memunculkan pilar – pilar Filsafat
Kontemporer.
Pilar yang pertama adalah etika,
di mana merupakan hasil dari refleksi moralitas yang kemudian melahirkan aliran-aliran
filsafat yang dikembangkan oleh para filosof. Dalam memahami etika sebagai
suatu ajaran tentang seni hidup, atau menempatkan sebagai kebahagiaan ke pusat
etika (Aristoteles), dan kemudian pemikiran ini direligiuskan oleh Thomas
Aquinas. Dan Imanuel Kant menjadikan etika yang semula seni kehidupan menjadi
etika kewajiban, dan ini melahirkan konsep sentral etika modern, yaitu konsep
otonomi moral. Pemikiran ini lebih lanjut, kemudian dikembangkan oleh George
Wilhelm Friedrich Hegel dan dipadukan dengan teori dialektikanya.
Pilar yang kedua adalah fenomenologi,
dengan tokoh sentralnya Edmund Hussel (1859-1938) fenomenologi merupakan salah
satu dari arus pemikiran yang paling berpengaruh pada Abad ke-20. Secara umum
fenomenologi lahir dari persoalan fenomena yang dibawa ke ruang publik
--pertama kali-- oleh Hegel dengan ruh absolutnya. Husserl lalu mendefinisikan
fenomenologi sebagai ilmu tentang penampakan (fenomena), dan bagi Husserl
berbicara tentang esensi di luar eksistensi adalah kerja sia-sia, dan hal
inilah yang membedakan fenomenologi Husserl dengan fenomenologinya Hegel dan
Kant. Para filosof yang terpengaruh oleh
fenomenologi adalah Derrida, Kierkegard, Cascirer.
Pilar yang ketiga adalah eksisitensialisme.
Eksistensialisme tidak lagi membahas pertanyaan-pertanyaan esensi dan kodrat,
akan tetapi lebih menekankan masalah seputar eksistensi. Seorang filosof
eksistensialis, semisal Sartre, bekerja keras dalam permasalahan esensi dan
eksistensi, yang kemudian memunculkan sebuah tesis bahwa "eksistensi
mendahului esensi". Dan ini membalik tradisi pemikiran filsafat Barat
sejak Plato, yang selalu mengatakan bahwa esensi mendahului eksistensi.
Pilar yang ke empat adalah filsafat
budaya. Jika dilihat dari sudut pandang filosofis akan melahirkan dimensi
subyektif dan obyektif. Di mana dimensi subyektif adalah daya yang menjadikan
produk (alam) menjadi produk yang lebih baik, sedangkan dimensi obyektif adalah
hasil dari kegiatan daya tadi.
DAFTAR PUSTAKA
Noor, Hadian. 1997. Pengantar
Sejarah Filsafat. Malang: Citra Mentari Group.
Osborne, Richard. 2001. Filsafat
Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
Rachman, Maman, dkk. 2008. Filsafat
Ilmu. Semarang: UPT UNNES Press.
Russell, Bertrand. 2004. Sejarah
Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salam, Burhanuddin. 2003. Pengantar
Filsafat. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Donny Gahral Adian, Pilar-pilar Filsafat Kontemporer, Jalasutra,
Yogyakarta, Cetakan : Pertama, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar