FILOSOFI AIR
Hiduplah
seperti air. Mengalir dan bergelombang dengan tenang. Menjadi sumber kehidupan
segala hal yang hidup. Tetapi, harus hati-hati dengan air, sebab jika air
dibendung, ia mampu meratakan apapun yang dilewatinya. Hiduplah seperti air
yang membentuk sesuai wadah air itu sendiri.
Air itu fleksibel di segala medan lokasi. Dia tidak pernah takut di keadaan apapun, dinamis. Air itu kuat. Sekeras-kerasnya batu akan rusak oleh tetesan air. Dirubah dalam bentuk apapun, air tidak akan hilang. Misalnya dipanaskan akan menjadi uap tapi zatnya tidak hilang, didinginkan akan membeku tapi zatnya tidak akan hilang juga.
Secara
ilmiah, Hawking 1997 –fisikawan Amerika-- menyebut bahwa air adalah hidup yang
bertipikal anomaly. Air memiliki anomali khusus dan hampir berbeda
dengan ciptaan Tuhan lainnya. Proses pembekuan dan pencarian air demikian
ritmik dan menjamin kehidupan apapun di sekitarnya. Menjadi apapun itu air, ia
tetap memberi jaminan ketentraman bagi kehidupan.
Air,
mengutif Moch. Hatta, tentu bukan gincu atau liftstik. Sebab pewarna
(hijau, kuning, merah, hitam atau ungu) justru minta dilarutkan oleh air. Tanpa
air, warna apapun tidak akan pernah menjadi sebuah keindahan. Fungsi
warna-warna tadi, akan terjadi justru di saat air berkenan digunakan. Itulah
mungkin kenapa, Thales –filosof Yunani abad ke 7 Sebelum Masehi—menyebut air
sebagai asas kehidupan.
Arti
Filosofi Air
Ada tiga filosofi air yang amat
mulia dan analog dengan perilaku manusia:
Pertama,
air selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
Tuhan
menciptakan air agar manusia bisa mengambil pelajaran darinya. Sifat air yang
selalu mengalir ke tempat rendah analog dengan sikap rendah hati pada manusia.
Air selalu ingin berguna bagi makhluk hidup yang ada di bawahnya. Ibarat
pemimpin, air adalah pemimpin yang melayani. Jika ia berada di posisi teratas,
maka ia akan menjadi pelayan bagi orang-orang yang membutuhkan di bawahnya.
Apalagi air identik dengan sumber kehidupan. Maka tidak salah jika sifat
pertama ini dianalogikan dengan pemimpin yang melayani. Pemimpin yang melayani
adalah sumber kesejahteraan bagi masyarakat yang ia pimpin.
Kedua,
air selalu mengisi ruang-ruang yang kosong.
Manusia
yang baik adalah manusia yang berusaha mengisi kekosongan hati dari manusia
lainnya. Dengan meniru sifat air, kita seharusnya bisa menjadi penolong bagi
manusia lainnya yang sedang bermasalah atau kekurangan. Tentu, jika sifat air
yang kedua ini benar-benar kita teladani, kita selalu memiliki waktu untuk
melengkapi kehidupan manusia lainnya. Artinya, kita menjadi manusia yang senang
menolong dan suka berbagi. Karena sebenarnya, batin kita terisi setelah
memenuhi kekurangan dari saudara kita.
Ketiga,
air selalu mengalir ke muara.
Tak
peduli seberapa jauh jaraknya dari muara, air pasti akan tiba di sana.
Sebenarnya saya tidak setuju dengan orang yang menggunakan pepatah “hiduplah
mengalir seperti air” untuk menguatkan gaya hidup yang tidak punya arah dan
serampangan. Justru sebenarnya dengan kita meniru air yang mengalir, kita
seharusnya punya visi kehidupan. Hal utama yang patut diteladani dari
perjalanan air menuju muara adalah sikapnya yang konsisten. Bayangkan, ada
berapa banyak hambatan yang dilalui oleh air gunung untuk mencapai muara?
Mungkin ia akan singgah di sungai, tertahan karena batu, kemudian bisa saja
masuk ke selokan. Tapi toh akhirnya ia tetap mengalir dan tiba di muaranya.
Waktu tempuh air untuk sampai ke muara sangat bervariasi. Ada yang hanya
beberapa hari, tapi ada juga yang beberapa minggu. Patut diingat, hal
terpenting bukanlah waktu tempuh yang akan dilalui, tapi seberapa besar
keyakinan untuk menuju muara atau visi atau impian yang akan kita gapai. (Sumber:
Kompasiana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar