Rabu, 19 November 2014

Asal Usul Balaraja dan Ciapus



Asal-Usul Daerah Kelahiran
Kecamatan Balaraja dan Kampung Ciapus
PGSD/3C-10

Balaraja berasal dari kata bala (bale) dan raja. Bale berarti balai atau tempat persinggahan. Dan raja yang dimaksud di sini adalah raja yang berasal dari kerajaan Banten. Artinya tempat peristirahatan raja. Pernyataan ini dikuatkan dengan sebuah tempat pemandian yang dikenal dengan nama Talagasari (Tempat ini kemudian menjadi nama desa). Letak tempat pemandian tersebut tepat berada di depan balai dulu gedung Kewedanaan Balaraja dan sekarang dijadikan gedung Kecamatan Balaraja tersebut. Diperkirakan berada di Klinik Aroba, tepatnya di belakang Mesjid Al-Jihad. Hal ini mengingatkan kita pada Tasik Ardi dekat Situs Surosowan, Banten.
Bukti pertama, Patung Balaraja yang dikenal masyarakat sebagai patung Ki Buyut Talim sebagai salah satu icon pejuang Banten. Tetapi patung itu sudah lama hilang, entah kenapa dan sangat di sayangkan. Kedua, terdapat makam Buyut Sanudin letaknya berada di Kampung Leuweung Gede Desa Parahu Kecamatan Sukamulya. Ketiga, Makam Nyi Mas Malati di Kampung Bunar, Desa Bunar Kecamatan Sukamulya. Pejuang wanita Banten di Tangerang. Dan yang terakhir Makam Uyut Ambiya. Makam yang pernah membuat heboh seantaro Nusantara karena makam ini mendadak membesar seperti orang hamil. Dari beberapa hikayat bahwa Uyut Ambiya ini salah satu pemimpin perang Banten versus Kompeni Belanda. Sebagian orang ada yang mengatakan Uyut Ambiya ini orang yang sama dengan Buyut Talim.
Jika ditinjau dari persebaran bahasa. Di Balaraja terdapat pulau bahasa Jawa Banten yang berada di Kampung Pekong Desa Saga Kecamatan Balaraja. Kemiripan kosa kata dengan bahasa di bantaran sungai dan pesisir pantai di wilayah kerajaan Banten.
Dari bukti-bukti tersebut Balaraja sangat kental dengan perjuangan Banten melawan Kompeni Belanda yang berada di batas demarkasi sebelah Timur Cisadane. Wajar saja sebab wilayah ini dibelah oleh sungai Cimanceri sebagai jalan menuju Batavia pada waktu itu.

Balaraja Masa Revolusi

Pergolakan di Balaraja terjadi ketika pasca perang dunia II saat bom atom Hirosima-Nagasaki meluluhlantakan Jepang. Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, 1945. Efeknya Indonesia mampu merebut kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Anehnya berita kemerdekaan Republik Indonesia telat diterima oleh warga Tangerang, termasuk daerah-daerah di bawah kewenangan Kewedanaan Balaraja pada saat itu.
Pergolakan Tangerang tak lepas dari peran serta komando Resimen Tangerang yang di dalamnya terdapat lasykar rakyat. Berita dari pelaku lasykar pernah di dengar penulis dari almarhum Sersan Sawinan (mantan TRI) ketika terjadi baku tembak antara Tentara Belanda (Gurkha) dan Lasykar rakyat di Pasar Balaraja lama.
Beliau menceritakan bangunan pasar dibombardir (baca: digranat) oleh tentara Belanda. Kekaguman penulis saat itu mengarah pada struktur kekuatan beton bangunan pasar yang tetap tangguh. Mungkin sesuatu yang susah dicari tandingannya dengan bangunan di zaman sekarang.
Peperangan yang dimulai dari Cikande akhirnya membuat lasykar rakyat bergerilya masuk desa keluar desa. Korban dari kedua belah pun tak terelakan lagi.
Masa revolusi yang menjadi catatan pahit adalah zaman gedoran Cina. Peristiwa ini tercatat dalam berita jurnalistik sekitar awal Juni 1946. Kampung Parahu dan Kampung Ceplak Kewedanaan Balaraja adalah kampung yang paling banyak menelan korban warga Cina.
Peristiwa kelam ini bukan berarti melulu kesalahan pribumi tetapi memang kesalahan sistem kolonial yang membuat pribumi tertindas. Peristiwa ini pun diperparah dengan identifikasi pribumi terhadap warga Cina yang menjadi mata-mata Belanda. Kerusuhan muncul mulai dari Tangerang merambah ke daerah hingga pecah di kawasan Kewedanaan Balaraja.
Syahrir sebagai perdana menteri pada 6 Juni 1946 menyesali peristiwa penggedoran Tangerang. Esoknya Soekarno pun menyinggung peristiwa tersebut dalam pidatonya yang berjudul “Keadaan Bahaya”.
Sebagai tindak lanjut pemerintah menginstruksikan kepada Resimen Tangerang untuk melucuti senjata yang berada di tangan rakyat. Di samping itu, pemerintah pusat mengirimkan misi yang dipimpin menteri penerangan M. Natsir disertai pejabat kementrian dalam negeri, wakil Tentara Republik Indonesia (TRI) bersama wakil golongan Cina, Oey Kim Seng menginspeksi tempat-tempat terjadinya kerusuhan.
Di Balaraja M. Natsir berpidato dihadapan massa dan menasihati masyarakat Balaraja. Agar kerusuhan semacam ini tidak terulang kembali karena akan merugikan pemerintah RI yang baru saja berdiri dalam meraih citra publik di mata internasional. Dibantu oleh tokoh daerah seperti Achmad Chotib, Syamoen dan Sutalaksana. Akhirnya warga pribumi dan Cina pun memahami kekeliruannya.
Ada hal yang patut menjadi perhatian bagi pembaca bahwa Balaraja pernah menjadi ibukota Kabupaten Tangerang ketika diduduki tentara Gurkha, Belanda. Pemerintah RI mengangkat R. Achyad Penna sebagai Patih Pemerintah RI beserta seluruh staf dan aparat pemerintah RI Kabupaten Tangerang mutasi ke Balaraja, jabatannya pertamanya dari 1945 hingga 1949. Selanjutnya Bupati RI di Balaraja dijabat oleh KH Abdulhadi (Juli 1946), R. Djajarukmana (1947) hingga jabatan ini kembali ke R. Achyad Penna tahun (1950-1952).
Sebagai catatan bahwa pada masa revolusi kedudukan pemerintah RI Kabupaten Tangerang berkedudukan di Balaraja kurang lebih selama 7 tahun. R. Achyad Penna sebagai orang Tangerang lulusan OSVIA Serang kemudian menjabat kembali sebagai Bupati Tangerang (1950-1952) setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada pemerintah RI.

Balaraja Masa Kini

Kewedanaan Balaraja berkembang seiring dengan perkembangan zaman sistem ini pun dihilangkan dan masing-masing wilayah partikelir pun menjadi kecamatan. Kecamatan Balaraja, Tigaraksa, Cisoka, Kronjo dan Kresek. Selanjutnya Balaraja memekarkan Jayanti sebagai kecamatan.
Seiring dengan perkembangan zaman otonomi daerah, tahun 2007 Bupati Tangerang, Ismet Iskandar memekarkan kembali Kecamatan Balaraja sehingga jadilah Kecamatan Sukamulya. Kecamatan Kresek dipekarkan jadilah Kecamatan Gunung Kaler. Kronjo dipekarkan jadilah Kecamatan Mekar Baru dan Kecamatan Cisoka jadilah tumbuhlah Kecamatan Solear. Sebagai ancangan pembentukan Kabupaten baru yang bernama Tangerang Barat.
Secara historis Tangerang bagian barat ini sudah sepantasnya menjadi kabupaten diiringi kelengkapan potensi pendapatan asli daerah sangat memungkin. Letak geografis yang strategis di antara jalur lalu lintas nasional yang cukup padat.
Pusat Industri tumbuh dan berkembang di Kecamatan Balaraja, Jayanti dan Cisoka. Areal perumahan sebagai daerah salah satu penyangga Ibukota sudah berdiri di setiap kecamatan yang ada di daerah ini.
Potensi pertanian tersebar di wilayah kecamatan Cisoka, Solear, Jayanti, Sukamulya, Kresek, Gunung kaler, Mekar Baru, dan Kronjo. Adapun potensi kelautan dan perikanan berpusat di Kecamatan Kronjo dan Mekar Baru.

ASAL-USUL Kampung CIAPUS
            Dahulu, daerah kampung ciapus masih berupa tumbuhan Bambu Apus sampai pada akhirnya ada seorang lelaki yang orang-orang ciapus panggil sebagai Uyut Kampung mendirikan tempat tinggal berupa perkampungan, dan diberi nama Ciapus karena dulunya daerah itu banyak tumbuhan bamboo apus. Sayangnya saat ini Bambu apus icon dari kampung ciapus sendiri, dari waktu ke waktu semakin sedikit.


            Yang diharapkan dari daerah asal saya, saya harap apapun yang dilakukan untuk membangun balaraja dan ciapus lebih baik lg, sebaiknya tidak merusak atau menghilangkan asalnya, semua apapun yang dilakukan sebaiknya harus seimbang.

Revisi Tulisan



Revisi.1-PGSD/3C-10
Progresivisme Sebagai Demokratis Dalam Pendidikan
            Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar dimasa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukan memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini diantaranya : George Axtelle, William O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B. Thomas, Frederick C. Neff dan John Dewey.
            Asas pokok aliran ini adalah bahwa manusia selalu tetap survive terhadap semua tantangan kehidupannya yang secara praktis akan senantiasa mengalami kemajuan. Oleh karena itu aliran ini selalu memandang bahwa pendidikan tidak lain tidak bukan adalah proses perkembangan, sehingga seorang pendidik mesti selalu siap untuk senantiasa memodifikasi berbagai metode dan strategi dalam pengupayaan ilmu-ilmu pengetahuan terbaru dan berbagai perubahan-perubahan yang menjadi kecenderungan dalam suatu masyarakat.
            Dilihat dalam bukunya Democracy And Aducation. Disini Dewey memperlihatkan keyakinan-keyakinan dan wawasannya tentang pendidikan, serta mempraktekannya disekolah-sekolah yang ia dirikan. Menurut Dewey tujuan umum pendidikan ialah warga masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang studi yang berguna atau langsung bias dirasakan oleh masyarakat seperti IPA, Sejarah, dan keterampilan. John Dewey mengatakan, pengalaman adalah key concept manusia atas segala sesuatu. Pengalaman ialah suatu realita yang telah meresap dan membina pribadi.
            Pengetahuan diperoleh manusia baik secara langsung melalui pengalaman dan kontak dengan segala realita dalam lingkungan, ataupun pengetahuan diperoleh langsung melalui catatan-catatan. Pengetahuan adalah hasil aktivitas tertentu. Makin sering kita menghadapi tuntutan lingkungan dan makin banyak pengalaman kita dalam praktik, maka makin besar persiapan kita menghadapi tuntutan masa depan. Pengetahuan harus disesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru di dalam lingkungan. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pendidikan hendaklah bukan hanya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik untuk diterima saja, melainkan yang lebih penting daripada itu adalah melatih kemampuan berpikir dengan memberikan stimuli-stimuli.
Demokratisasi pendidikan diartikan sebagai hak setiap warga negara atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk menikmati pendidikan. Dalam hal ini, kesempatan setiap warga negara dalam mengikuti pendidikan juga tidak didasarkan atas diskriminasi tertentu. Hal ini sesuai dengan bunyi pernyataan Undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yaitu: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Kehidupan demokrasi dalam bidang pendidikan merupakan tindakan menghargai keberagaman potensi individu yang berbeda dalam kebersamaan. Dengan demikian segala bentuk penyamarataan individu dalam satu uninformitas dan pengingkaran terhadap keunikan sifat individu bertentangan dengan salah satu prinsip demokrasi.
            Demokratisasi pendidikan merupakan suatu kebijakan yang sangat didambakan oleh masyarakat. Melalui kebijakan tersebut, diharapkan peluang masyarakat untuk menikmati pendidikan menjadi semakin lebar sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki. Jurang pemisah antara kelompok terdidik dan belum terdidik menjadi semakin terhapus, sehingga informasi pembangunan tidak lagi menjadi hambatan. Ungkapan pendidikan untuk semua dan semuanya untuk pendidikan diharapkan bukan sekedar wacana tetapi sudah harus merupakan komitmen pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkannya. Dengan demikian, isu tentang besarnya putus sekolah, elitisme, ketidak-terjangkauan dalam meraih pendidikan, dan seterusnya dapat terhapus dengan sendirinya.
            Demokratisasi pendidikan bukan hanya sekedar prosedur, tetap juga nilai-nilai pengakuan dalam kehormatan dan martabat manusia. Dalam hal ini melalui upaya demokratisasi pendidikan diharapkan mampu mendorong munculnya individu yang kreatif , kritis, dan produktif tanpa harus mengorbankan martabat dan dirinya.
            Tujuan dan Tugas Pendidikan Demokratis
Pendidikan sebagai saluran utama yang memberikan fasilitas bagi upaya-upaya manusia sebagai subyek kebudayaan untuk melestarikan, merekontruksi, dan mengembangkan nilai-nilai ideal suatu kelompok kebudayaan. Nilai-nilai kebudayaan yang dianggap ideal untuk masyarakat Amerika Serikat yang bersifat majemuk adalah nilai-nilai demokratis. Jonh Dewey mencoba mengembangkan suatu model filsafat pendidikan demokratis yang dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat demokrasi modern kontemporer. John Dewey merumuskan bahwa tujuan pendidikan yang paling bersifat umum adalah mengarahkan subyek didik, berdasar pada kecenderungan alamiah dan minat yang dimilikinya, untuk mencapai kemampuan perkembangan melalui partisipasi aktif dan reflektif dalam suatu cara hidup yang bersifat demokratis.
Tiga Pilar Dasar Pendidikan Demokratis
Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan yang mendukung keberadaan dan pengembangan masyarakat demokratis, aliran filsafat pendidikan progresivisme menunjukan reaksi yang keras terhadap teori dan praktek kependidikan yang dikemukakan oleh aliran filsafat pendidikan esensialisme.
Filsafat pendidikan progresivisme bereaksi terhadap system pendidikan yang bersifat tradisional, pasif, dan terlalu intelektualis. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis itu, maka aliran filsafat progresivisme mengajukan 3 pilar utama system pendidikan yang mendukung pengembagan masyarakat demokratis. Tiga pilar utama itu adalah :
1.      Pendidikan berpusat pada anak
Berkenaan dengan konsep pendidikan berpusat pada anak, aliran filsafat pendidikan progresivisme berpendapat bahwa fungsi utama pendidikan adalah untuk mengembangkan secara maksimal potensi-potensi individual seorang anak. Untuk mencapai tujuan itu maka sedapat mungkin dihindari praktek-praktek pendidikan tradisional yang bersifat otoriter dan pasif. Pengajaran yang bersifat otoriter dan pasif dapat mengakibatkan lemahnya partisipasi subyek didik dalam kehidupan masyarakat.


2.      Peran pendidikan bagi rekontruksi dan pembaharuan social
Melalui konsep peran pendidikan bagi rekontruksi dan pembaharuan sosial, aliran ini hendak mengemukakan bahwa dalam proses kebudayaan, pendidikan tidak hanya melaksanakan fungsi inkulturatif statis, tapi lebih jauh lagi memiliki fungsi transformatif bagi terjadinya pembaharuan sosial kebudayaan suatu kelompok masyarakat.
John Dewey mengemukakan bahwa pendidikan memiliki peran sentral dalam pembaharuan sosial bagi terciptanya masyarakat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju masyarakat industry.
3.      Konsep eksperimentalisme dalam pendidikan
Berdasarkan konsep ekperimentalisme dalam pendidikan, kaum progresivisme mencoba mengembangkan pendekatan ilmiah dalam proses pendidikan demokratis. Melalui konsep ini dicoba dikembangkan dalam diri anak kemampuan rasional, kritis, penarikan kesimpulan berdasar pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas yang diperlukan bagi individu untuk hidup dalam alam demokrasi.

Daftar Pustaka
Blog Anshar : ALIRAN PROGRESIVISME
SAINS DAN TEKNOLOGI: ALIRAN PROGRESIVISME
JURNAL : DEMOKRATISASI DAN PENDIDIKAN DASAR, Adang Heriawan, Drs., M.Pd

Filsafat Pendidikan Progresivisme Sebagai Pendidikan Demokratis



Dewi Yayan Salmiati-PGSD/3C-10
Filsafat Pendidikan Progresivisme Sebagai Pendidikan Demokratis
            Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar dimasa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukan memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini diantaranya : George Axtelle, William O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B. Thomas, Frederick C. Neff dan John Dewey.
            Asas pokok aliran ini adalah bahwa manusia selalu tetap survive terhadap semua tantangan kehidupannya yang secara praktis akan senantiasa mengalami kemajuan. Oleh karena itu aliran ini selalu memandang bahwa pendidikan tidak lain tidak bukan adalah proses perkembangan, sehingga seorang pendidik mesti selalu siap untuk senantiasa memodifikasi berbagai metode dan strategi dalam pengupayaan ilmu-ilmu pengetahuan terbaru dan berbagai perubahan-perubahan yang menjadi kecenderungan dalam suatu masyarakat.
            Istilah progresivisme dalam bagian ini akan dipakai dalam hubungannya dengan pendidikan, dan menunjukkan sekelompok keyakinan-keyakinan yang didasarkan pada sekelompok keyakinan filsafat yang lazim disebut pragmatism, instrumentalisme dan eksperimentalisme. Progresivisme sebagai filasafat dan progresivisme sebagai pendidikan keras sekali hubungannya dengan kepercayaan yang sangat luas dari John Dewey dalam lapangan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dalam bukunya Democracy And Aducation. Disini Dewey memperlihatkan keyakinan-keyakinan dan wawasannya tentang pendidikan, serta mempraktekannya disekolah-sekolah yang ia dirikan. Menurut Dewey tujuan umum pendidikan ialah warga masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang studi yang berguna atau langsung bias dirasakan oleh masyarakat seperti IPA, Sejarah, dan keterampilan.
            Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan secara terpisah, melainkan harus diusahakan terintegrasi dalam unit. Karena suatu perubahan selalu terjadi maka diperlukan fleksibelitas dalam pelaksanaannya, dalam arti tidak kaku, tidak menghindar, dari perubahan, tidak terikat suatu doktrin tertentu, bersifat ingin tabu, toleran, berpandangan luas serta terbuka.  
            Pandangan progresivisme diuraikan berdasarkan pandangan ontologi, epistomologi, dan aksiologi.
1. ONTOLOGI PROGRESIVISME            
Pandangan ontologi progresivisme bertumpu pada tiga hal yakni asas hereby (asas keduniaan), pengalaman sebagai realita dan pikiran (mind) sebagai fungsi manusia yang unik. Ontologi Progresivisme adalah sebagai berikut:
a.    Asas Hereby ialah adanya kehidupan realita yang amat luas tidak terbatas sebab kenyataan alam semesta adalah kenyataan dalam kehidupan manusia.
b.    Pengalaman adalah kunci pengertian manusia atas segala sesuatu. Manusia punya potensi pikiran (mind) yang berperan dalam pengalaman. Eksistensi dan realita mind hanyalah di dalam aktivitas, dalam tingkah laku. John Dewey mengatakan, pengalaman adalah key concept manusia atas segala sesuatu. Pengalaman ialah suatu realita yang telah meresap dan membina pribadi. Pengalaman menurut Progresivisme:
1. Dinamis, hidup selalu dinamis, menuntut adaptasi, dan readaptasi dalam semua variasi perubahan terus menerus.
2. Temporal (perubahan dari waktu ke waktu);
3. Spatial yakni terjadi disuatu tempat tertentu dalam lingkungan hidup manusia;
4. Pluralistis yakni terjadi seluas adanya hubungan dan antraksi dalam mana individu terlibat. Demikian pula subyek yang mengalami pengalaman itu, menangkapnya, dengan seluruh kepribadiannya degnan rasa, karsa, pikir dan pancainderanya. Sehingga pengalaman itu bersifat pluralistis.
c.    Pikiran (mind) sebagai fungsi manusia yang unik. Manusia hidup karena fungsi-fungsi jiwa yang ia miliki. Potensi intelegensi ini meliputi kemampuan mengingat, imaginasi, menghubung-hubungkan, merumuskan, melambangkan dan memecahkan masalah serta komunikasi dengan sesamanya. Mind ini ialah integrasi di dalam kepribadian, bukan suatu entity (kesatuan lahir) sendiri. Eksistensi dan realita mind hanyalah di dalam aktivitas. Mind adalah apa yang manusia lakukan. Mind pada prinsipnya adalah berperan di dalam pengalaman.

2. EPISTEMOLOGI PROGRESIVISME
Pandangan epistemologi progresivisme ialah bahwa pengetahuan itu informasi, fakta, hukum, prinsip, proses, dan kebiasaan yang terakumulasi dalam pribadi sebagai proses interaksi dan pengalaman. Pengetahuan diperoleh manusia baik secara langsung melalui pengalaman dan kontak dengan segala realita dalam lingkungan, ataupun pengetahuan diperoleh langsung melalui catatan-catatan. Pengetahuan adalah hasil aktivitas tertentu. Makin sering kita menghadapi tuntutan lingkungan dan makin banyak pengalaman kita dalam praktik, maka makin besar persiapan kita menghadapi tuntutan masa depan. Pengetahuan harus disesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru di dalam lingkungan.

3. AKSIOLOGI PROGRESIVISME
Dalam pandangan progresivisme di bidang aksiologi ialah nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dengan demikian menjadi mungkin adanya saling hubungan. Jadi masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, kecerdasan dari individu-individu. Nilai itu benar atau tidak benar, baik atau buruk apabila menunjukkan persesuaian dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.
            Pandangan pendidikan progresivisme menghendaki yang progresif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pendidikan hendaklah bukan hanya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik untuk diterima saja, melainkan yang lebih penting daripada itu adalah melatih kemampuan berpikir dengan memberikan stimuli-stimuli.
Filsafat pendidikan progresivisme merupakan salah satu awal dalam membangun pendidikan yang demokratis. Aliran ini membuat dasar tujuan dan tugas pendidikan yang demokratis. Selain itu, ada tiga pilar dasar dalam pendidikan demokratis yang diturunkan dari kerangka pikir filsafat pendidikan progresivisme.


Tujuan dan Tugas Pendidikan Demokratis
Secara filosofis, aliran filsafat pendidikan progresivisme memberi definisi pendidikan sebagai saluran utama yag memberikan fasilitas bagi upaya-upaya manusia sebagai subyek kebudayaan untuk melestarikan, merekontruksi, dan mengembangkan nilai-nilai ideal suatu kelompok kebudayaan. Nilai-nilai kebudayaan yang dianggap ideal untuk masyarakat Amerika Serikat yang bersifat majemuk adalah nilai-nilai demokratis. Jonh Dewey mencoba mengembangkan suatu model filsafat pendidikan demokratis yang dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat demokrasi modern kontemporer.
Aliran Filsafat Pendidikan Progresivisme memandang bahwa proses pendidikan tidak seharusnya terlepas dari realitas sosial masyarakatnya. John Dewey merumuskan bahwa tujuan pendidikan yang paling bersifat umum adalah mengarahkan subyek didik, berdasar pada kecenderungan alamiah dan minat yang dimilikinya, untuk mencapai kemampuan perkembangan melalui partisipasi aktif dan reflektif dalam suatu cara hidup yang bersifat demokratis.
Tiga Pilar Dasar Pendidikan Demokratis
Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan yang mendukung keberadaan dan pengembangan masyarakat demokratis, aliran filsafat pendidikan progresivisme menunjukan reaksi yang keras terhadap teori dan praktek kependidikan yang dikemukakan oleh aliran filsafat pendidikan esensialisme.
Filsafat pendidikan progresivisme bereaksi terhadap system pendidikan yang bersifat tradisional, pasif, dan terlalu intelektualis. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis itu, maka aliran filsafat progresivisme mengajukan 3 pilar utama system pendidikan yang mendukung pengembagan masyarakat demokratis. Tiga pilar utama itu adalah :
1.      Pendidikan berpusat pada anak
Berkenaan dengan konsep pendidikan berpusat pada anak, aliran filsafat pendidikan progresivisme berpendapat bahwa fungsi utama pendidikan adalah untuk mengembangkan secara maksimal potensi-potensi individual seorang anak. Untuk mencapai tujuan itu maka sedapat mungkin dihindari praktek-praktek pendidikan tradisional yang bersifat otoriter dan pasif. Pengajaran yang bersifat otoriter dan pasif dapat mengakibatkan lemahnya partisipasi subyek didik dalam kehidupan masyarakat.
2.      Peran pendidikan bagi rekontruksi dan pembaharuan social
Melalui konsep peran pendidikan bagi rekontruksi dan pembaharuan sosial, aliran ini hendak mengemukakan bahwa dalam proses kebudayaan, pendidikan tidak hanya melaksanakan fungsi inkulturatif statis, tapi lebih jauh lagi memiliki fungsi transformatif bagi terjadinya pembaharuan sosial kebudayaan suatu kelompok masyarakat.
John Dewey mengemukakan bahwa pendidikan memiliki peran sentral dalam pembaharuan sosial bagi terciptanya masyarakat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju masyarakat industry.


3.      Konsep eksperimentalisme dalam pendidikan
Berdasarkan konsep ekperimentalisme dalam pendidikan, kaum progresivisme mencoba mengembangkan pendekatan ilmiah dalam proses pendidikan demokratis. Melalui konsep ini dicoba dikembangkan dalam diri anak kemampuan rasional, kritis, penarikan kesimpulan berdasar pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas yang diperlukan bagi individu untuk hidup dalam alam demokrasi.