FILOSOFI ZAKAT
Zakat adalah ibadah yang berkaitan
dengan harta benda. Seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat tertuntun untuk
melaksanakannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau
pula dengan tekatan dari penguasa, dan karenanya agama menetapkan amilin atau petugas-petugas khusus yang
mengelolanya, disamping menetapkan sanksi-sanksi kepada yang enggan demi
terlaksanakannya zakat sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi.
Ada
tiga landasan pilosofis dan kewajiban zakat.
a. Istikhlaf (penugasan sebagai khalifat di
bumi)
Allah SWT adalah pemilik seluruh isi
dunia ini. Secara
oitomatis Allah juga lah penguasa harta-harta manusia. dengan
demikian. Seseorang yang beruntung mendapatkan sejumlah harta pada hakikatnya
hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan sesuai dengan kehendak
pemiliknya dalam hal ini Allat SWT.
Manusia yang beriman kepada Allah
dan menyadari bahwa pemilik yang sebenarnya dari seluruh harta benda yang
disimpan dilangit dan dibumi adalah Allah, bahwa pengurusan hidup manusia
sebenarnya hanyalah ada di tangan-Nya; bahwa perhitungan urusan yang sebesar
debu pun ada pada catatnya. Dan bahwa balasan akhir atas perbuatan-perbuatan
baik dan buruk dari manusia akan diberikan olehnya dengan perhitungan yang
mutlak, maka akan mudahlah bagiannya untuk mempercayakan diri padanya. Dan
bukan kepada pendapat dan fikiran diri sendiri, tentu ia akan mau membelanjakan
harta bendanya menurut arahan yang diberikan oleh Allah dan menyerahkan soal
untung rugi kepadanya semata-mata.
Konsekuensi dan pemilikam mutlak
terhadap harta benda adalah bahwa manusia yang kepadanya dititipkan harta
tersebut harus memenuhi ketetapan-ketetapan Tuhan dalan hal ini yang berkaitan
dengan harta tersebut baik dalam pengembangan maupun dalam penggunaannya yakni,
antara lain kewajiban untuk mengeluarkan zakat demi kepentingan masyarakat
bahkan sedekah dan infak di samping zakat bila hal tersebut dibutuhkan.
Tugas kekhalifahan/istikhlaf manusia secara umum adalah
tugas mewujutkan kemakmuran dan kesjahteraan dalam hidup dan kehidupan (QS
Al-An’am:165) serta tugas pengapdian atau ibadah dalam arti luas (QS
Adz-Dzariyat:56). Untuk menunaikan tugas tersebut,Allah memberikan manusia anugrah
sistem kehidupan dan sarana kehidupan (QS Luqman:20).
Harta sebagai sebuah sarana bagi
manusia, dalam pandangan islam merupakan hak mutlak milik Allah SWT.
Kepemilikan manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah
mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuannya ( QS Al-Hadid:7 dan QS
An-Nur:33). Harta yang dianggap sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan
manusia bisa menikmatinya dan sebagai bekal ibadah dapat pula sebagai bekal
keimanan. Adanya ujian merupakan satu bentuk penilaian terhadap kesadaran
kepatuhan dan pengakuan bahwa apa yang dimilikinya benar-benar merupakan
karunia dan kepercayaan dari Allah bagi yang menerimanya. Untuk itu wajib zakat
merupakan suatu yang alamiyah bagi kehidupan manusia, karena zakat yang dikeluarkan
atau diberikan oleh seseorang dari harta yang diperoleh, pada hakikatnya
dikembalikan padapemilik utamanya yaitu Allah SWT.
Allah SWT menjadikan harta benda
sebagai alat dan sarana kehidupan untuk seluruh umat manusia sehinggga
menggunakanna harus diarahkan kepada kepentingfan mereka bersama, dan karena
itu Allah melarang untuk memberikan harta benda kepada orang-orang yang diduga
keras akan menyia-nyiakannya (walaupun uang tersebut atas namanya).
Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta kamu ada dalam kekuasaanmu. (An-Nisa:5)
Atas
dasar inilah Allah SWT menetapkan bagian-bagian tertentu dalan harta benda
(antara lain dengan nama zakat) untuk diserahkan guna kepentingan masyarakat
banyak atau anggota-anggota masyarakat yang membutuhkannya. Sejak semula tuhan
telah menetapkan bahwa harta tersebut
dijadikannya untuk kepentingan bersama, bahkan agaknya tidak terlebih jika
dikatakan bahwa mulanya masyarakatlah yang berwenang menggunakan harta tersebut
secara keseluruhan kemudian Allah menganugrahkan sebagian dari padanya kepada pribadi-pribadi
yang mengusahakannya sesuai kebutuhan masimg-masing.
Allah memberikan kebebasan kepada
manusia untuik menggunakan apa yang diperoleh dari karunia-Nya. Namun ditegaskan bahwa karena dia bukanlah
satu-satunya khalifah dan karenanya
terdapat jutaan manusia lain yang mempunyai kedudukan yang sama sebagai khalifah, maka mereka pun mempunyai hak yang
sama. Untuk itu dalam proses pendayagunaan karunia Allah, perlu dilakukan
dengan cara yang efesien dan adil agar “saudara” yang lainnya mendapatkan
kemakmuran sebagaimana yang diperolehnya. Pada dataran ini, maka adanya
solidaritas sosial (al-ta’awun al-ijtima’i)
merupakan bagian lain dari dasar adanya kewajiban zakat.
Pengabaian kewajiban seseorang
terhadap sesamanya dipandang sebagai kegagalan yang serius dalam memenuhi
kewajibannya terhadap Tuhan. Oleh karenanya menurut Al-Qur’an pembayaran zakat
oleh muzakki atau aghniya bukan
merupakan bentuk pemihakan terhadap si miskin.karena si kaya bukanlah pemilik
riil kekayaan itu (Al-Hadid:7). Begitu pula sebaliknya, mustahik / penerima zakat tidak boleh memandang penerimaan zakat
sebagai perlakuan tidak baik karena apa yang mereka terima sebenarnya adalah
hak mereka yang telah dibentuk oleh Allahdalam kekayaan orang-orang kaya (QS
Adz-Dzariyat:91 dan Al-ma’arij:25).
Dengan demikian penolakan terhadap
adanya kewajiban zakat merupakan sikap yang bertentangan dengan sunnatullah, bahwa manusia sebagai khalifah dan kekayaan adalah amanah
Tuhan. Mereka yang melanggar sunnatullah dianggap
termasuk orang yang tidak mensyukuri karunia-Nya(Ali-Imran:180)
b. Solidaritas sosial
Manusia adalah makhluk sosial, kebersamaaan
sekian banyak individu dalam satu wilayah membentuk masyarakat yang sifatnya
berbeda dengan individu-individu tersebut.
Manusia tidak bisa hidup tanpa
bantuan masyarakatnya, bahkan sekian banyak pengetahuan yang diperolehnya
melalui masyarakat, seperti bahasa, adat istiadat, etika sopan santun dan
lain-lain.
Demikian juga dalam bidang materiel
(ekonomi) betapapun seseorang mempunyai kepandaian, namun hasil-hasil materiel
yang diperolehnya adalah berkat bantuan pihak-pihak lain baik secara langsung
disadarinya maupun tidak.
Seseorang petani berhasil di dalam
pertaniannya karena adanya irigasi, alat-alat (walaupun sederhana), makanan,
pakaian, stabilitas keamanan yang kesemuanya tidak dapat ia diwujudkan kecuali
oleh kebersamaan pribadi-pribadi tersebut atau dengan kata lain masyarakat.
Seseorang pedagang demikian pula
halnya, siapa yang menjual kepadanya dan siapa pula yang membelinya kalau bukan
masyarakat itu?
Dari segi lain, harus disadari
produksi apapun bertuknya, pada hakikatnya merupakan pemanfaatan materi-materi
yang telah di ciptakan dan dimiliki Tuhan. Manusia dalam berproduksi hanya
mengadakan perubahan, penyesuaian, atau perakitan satu bahan dengan bahan yang
lain.
Demikian itu yang terlihat dalam
bidang pertanian,perindustrian,jasa dan sebagainya.
Tuhan yang menciptakan bahan
mentahnya dan manusia atas petunjuk Allah SWT yang mengelolanya. Nah, kalau
demikian wajarlah bila tuhan menyatakan bahwa harta adalah milik-Nya, dan wajar
pulalah bila ia memerintahkan untuk mengeluarkan sebagian dari apa yang
dimilikinya itu untuk orang-orang tertentu.
c. Persaudaraan
Manusia berasal dan satu keturunan
adam dan hawa, sehingga antara seseorang dengan yang lainnya terdapat pertalian
darah.
Persaudaraan akan lebih kokoh, jika
pertalian darah diatas ditambah dengan hubungan akidah dan kebersamaan agama.
Jadi hubungan persaudaraan telah
menuntut bukan sekedar hubungan take and give (memberi dan menerima) atau
pertukaran manfaan tetapi melebihi itu semua, yakni memberi tanpa menanti
imbalan atau membantu walaupun yang dibantu tidak membutuhkan, lebih-lebih lagi
jika mereka bersama, hidup dalam satu lingkungan.
Dan Zakat
adalah alat yang sempurna untuk menterjemahkan prinsip Islam tentang persaudaraan
dan rasa kemanusiaan kedalam kehidupan yang nyata. Allah dengan sangat jelas
menginginkan agar zakat ditujukan sebagai suatu bentuk ‘kontribusi’ oleh setiap
Muslim, lelaki dan perempuan, terhadap kemajuan dan kesejahteraan suatu negara
Islam.
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah
menjadi ‘penolong’ bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf dan
mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah,
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (At-Taubah: 71).
Jadi kebersamaan dan persaudaraan
inilah yang mengantar kepada kewajiban menyisihkan sebagian harta benda dalam
bentuk zakat(sadaqah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar