Minggu, 08 Maret 2015

FILOSOFI ZAKAT



FILOSOFI ZAKAT

Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat tertuntun untuk melaksanakannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau pula dengan tekatan dari penguasa, dan karenanya agama menetapkan amilin atau petugas-petugas khusus yang mengelolanya, disamping menetapkan sanksi-sanksi kepada yang enggan demi terlaksanakannya zakat sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi.
            Ada tiga landasan pilosofis dan kewajiban zakat.
a.   Istikhlaf (penugasan sebagai khalifat di bumi)
Allah SWT adalah pemilik seluruh isi dunia ini. Secara oitomatis Allah juga lah penguasa harta-harta manusia. dengan demikian. Seseorang yang beruntung mendapatkan sejumlah harta pada hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan sesuai dengan kehendak pemiliknya dalam hal ini Allat SWT.
Manusia yang beriman kepada Allah dan menyadari bahwa pemilik yang sebenarnya dari seluruh harta benda yang disimpan dilangit dan dibumi adalah Allah, bahwa pengurusan hidup manusia sebenarnya hanyalah ada di tangan-Nya; bahwa perhitungan urusan yang sebesar debu pun ada pada catatnya. Dan bahwa balasan akhir atas perbuatan-perbuatan baik dan buruk dari manusia akan diberikan olehnya dengan perhitungan yang mutlak, maka akan mudahlah bagiannya untuk mempercayakan diri padanya. Dan bukan kepada pendapat dan fikiran diri sendiri, tentu ia akan mau membelanjakan harta bendanya menurut arahan yang diberikan oleh Allah dan menyerahkan soal untung rugi kepadanya semata-mata.
Konsekuensi dan pemilikam mutlak terhadap harta benda adalah bahwa manusia yang kepadanya dititipkan harta tersebut harus memenuhi ketetapan-ketetapan Tuhan dalan hal ini yang berkaitan dengan harta tersebut baik dalam pengembangan maupun dalam penggunaannya yakni, antara lain kewajiban untuk mengeluarkan zakat demi kepentingan masyarakat bahkan sedekah dan infak di samping zakat bila hal tersebut dibutuhkan.

Tugas kekhalifahan/istikhlaf manusia secara umum adalah tugas mewujutkan kemakmuran dan kesjahteraan dalam hidup dan kehidupan (QS Al-An’am:165) serta tugas pengapdian atau ibadah dalam arti luas (QS Adz-Dzariyat:56). Untuk menunaikan tugas tersebut,Allah memberikan manusia anugrah sistem kehidupan dan sarana kehidupan (QS Luqman:20).
Harta sebagai sebuah sarana bagi manusia, dalam pandangan islam merupakan hak mutlak milik Allah SWT. Kepemilikan manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuannya ( QS Al-Hadid:7 dan QS An-Nur:33). Harta yang dianggap sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dan sebagai bekal ibadah dapat pula sebagai bekal keimanan. Adanya ujian merupakan satu bentuk penilaian terhadap kesadaran kepatuhan dan pengakuan bahwa apa yang dimilikinya benar-benar merupakan karunia dan kepercayaan dari Allah bagi yang menerimanya. Untuk itu wajib zakat merupakan suatu yang alamiyah bagi kehidupan manusia, karena zakat yang dikeluarkan atau diberikan oleh seseorang dari harta yang diperoleh, pada hakikatnya dikembalikan padapemilik utamanya yaitu Allah SWT.
Allah SWT menjadikan harta benda sebagai alat dan sarana kehidupan untuk seluruh umat manusia sehinggga menggunakanna harus diarahkan kepada kepentingfan mereka bersama, dan karena itu Allah melarang untuk memberikan harta benda kepada orang-orang yang diduga keras akan menyia-nyiakannya (walaupun uang tersebut atas namanya).

Artinya:
            Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta kamu ada dalam kekuasaanmu. (An-Nisa:5)
            Atas dasar inilah Allah SWT menetapkan bagian-bagian tertentu dalan harta benda (antara lain dengan nama zakat) untuk diserahkan guna kepentingan masyarakat banyak atau anggota-anggota masyarakat yang membutuhkannya. Sejak semula tuhan telah menetapkan  bahwa harta tersebut dijadikannya untuk kepentingan bersama, bahkan agaknya tidak terlebih jika dikatakan bahwa mulanya masyarakatlah yang berwenang menggunakan harta tersebut secara keseluruhan kemudian Allah menganugrahkan  sebagian dari padanya kepada pribadi-pribadi yang mengusahakannya sesuai kebutuhan masimg-masing.
Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuik menggunakan apa yang diperoleh dari karunia-Nya.  Namun ditegaskan bahwa karena dia bukanlah satu-satunya khalifah dan karenanya terdapat jutaan manusia lain yang mempunyai kedudukan yang sama sebagai khalifah, maka mereka pun mempunyai hak yang sama. Untuk itu dalam proses pendayagunaan karunia Allah, perlu dilakukan dengan cara yang efesien dan adil agar “saudara” yang lainnya mendapatkan kemakmuran sebagaimana yang diperolehnya. Pada dataran ini, maka adanya solidaritas sosial (al-ta’awun al-ijtima’i) merupakan bagian lain dari dasar adanya kewajiban zakat.
Pengabaian kewajiban seseorang terhadap sesamanya dipandang sebagai kegagalan yang serius dalam memenuhi kewajibannya terhadap Tuhan. Oleh karenanya menurut Al-Qur’an pembayaran zakat oleh muzakki atau aghniya bukan merupakan bentuk pemihakan terhadap si miskin.karena si kaya bukanlah pemilik riil kekayaan itu (Al-Hadid:7). Begitu pula sebaliknya, mustahik / penerima zakat tidak boleh memandang penerimaan zakat sebagai perlakuan tidak baik karena apa yang mereka terima sebenarnya adalah hak mereka yang telah dibentuk oleh Allahdalam kekayaan orang-orang kaya (QS Adz-Dzariyat:91 dan Al-ma’arij:25).
Dengan demikian penolakan terhadap adanya kewajiban zakat merupakan sikap yang bertentangan dengan sunnatullah, bahwa manusia sebagai khalifah dan kekayaan adalah amanah Tuhan. Mereka yang melanggar sunnatullah dianggap termasuk orang yang tidak mensyukuri karunia-Nya(Ali-Imran:180)

b.   Solidaritas sosial
Manusia adalah makhluk sosial, kebersamaaan sekian banyak individu dalam satu wilayah membentuk masyarakat yang sifatnya berbeda dengan individu-individu tersebut.
Manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan masyarakatnya, bahkan sekian banyak pengetahuan yang diperolehnya melalui masyarakat, seperti bahasa, adat istiadat, etika sopan santun dan lain-lain.
Demikian juga dalam bidang materiel (ekonomi) betapapun seseorang mempunyai kepandaian, namun hasil-hasil materiel yang diperolehnya adalah berkat bantuan pihak-pihak lain baik secara langsung disadarinya maupun tidak.
Seseorang petani berhasil di dalam pertaniannya karena adanya irigasi, alat-alat (walaupun sederhana), makanan, pakaian, stabilitas keamanan yang kesemuanya tidak dapat ia diwujudkan kecuali oleh kebersamaan pribadi-pribadi tersebut atau dengan kata lain masyarakat.
Seseorang pedagang demikian pula halnya, siapa yang menjual kepadanya dan siapa pula yang membelinya kalau bukan masyarakat itu?
Dari segi lain, harus disadari produksi apapun bertuknya, pada hakikatnya merupakan pemanfaatan materi-materi yang telah di ciptakan dan dimiliki Tuhan. Manusia dalam berproduksi hanya mengadakan perubahan, penyesuaian, atau perakitan satu bahan dengan bahan yang lain.
Demikian itu yang terlihat dalam bidang pertanian,perindustrian,jasa dan sebagainya.
Tuhan yang menciptakan bahan mentahnya dan manusia atas petunjuk Allah SWT yang mengelolanya. Nah, kalau demikian wajarlah bila tuhan menyatakan bahwa harta adalah milik-Nya, dan wajar pulalah bila ia memerintahkan untuk mengeluarkan sebagian dari apa yang dimilikinya itu untuk orang-orang tertentu.

c.   Persaudaraan
Manusia berasal dan satu keturunan adam dan hawa, sehingga antara seseorang dengan yang lainnya terdapat pertalian darah.
Persaudaraan akan lebih kokoh, jika pertalian darah diatas ditambah dengan hubungan akidah dan kebersamaan agama.
Jadi hubungan persaudaraan telah menuntut bukan sekedar hubungan take and give (memberi dan menerima) atau pertukaran manfaan tetapi melebihi itu semua, yakni memberi tanpa menanti imbalan atau membantu walaupun yang dibantu tidak membutuhkan, lebih-lebih lagi jika mereka bersama, hidup dalam satu lingkungan.

Dan Zakat adalah alat yang sempurna untuk menterjemahkan prinsip Islam tentang persaudaraan dan rasa kemanusiaan kedalam kehidupan yang nyata. Allah dengan sangat jelas menginginkan agar zakat ditujukan sebagai suatu bentuk ‘kontribusi’ oleh setiap Muslim, lelaki dan perempuan, terhadap kemajuan dan kesejahteraan suatu negara Islam.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi ‘penolong’ bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (At-Taubah: 71).
Jadi kebersamaan dan persaudaraan inilah yang mengantar kepada kewajiban menyisihkan sebagian harta benda dalam bentuk zakat(sadaqah).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar